Rabu, 20 Januari 2016

Ku maharkan Engkau Wahai Nisa' dengan Hafalan kalam-NYA

Kamis, 21 Januari 2016

Mahar dengan Hafalan Kalam-NYA


Wahai Engkau kaum hawa...

Tak pernah terpintaskan kalau ada perbedaan pendapat tentang mahar nikah.
bukan saya ini mau nikah lo.. :D
disini saya cuma membagi sedikit informasi yang saya pernah ketahui tentang bagaimana ulama' menghukumi mahar untuk seorang wanita yang diberikan lelaki nya dengan hafalan ataupun murojaah alquran.

Bolehkah mahar nikah berupa hafalan Al Quran ataukah muroja’ah hafalan 30 juz sebagaimana dilakukan oleh hafizh dan hafizhah? Karena ada yang menikah cuma sekedar membacakan surat Al Mulk dan itu sengaja dijadikan mahar. Ada juga yang menikah dengan menyetor hafalan 30 juz pada seorang hafizhah. Bolehkah seperti itu?
Yang perlu dipahami pertama kali, mahar adalah hak istri. Allah mewajibkan bagi pria yang ingin menikah untuk memenuhi mahar nikah. Allah Ta’ala berfirman,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. An Nisa’: 4).
Mahar itu bisa berupa barang atau bisa berupa jasa. Berupa barang misalnya adalah emas. Berupa jasa misalnya pengajaran Al Qur’an.

Bagaimana Jika Mahar Berupa Hafalan Al Qur’an?

Misalnya wanita meminta sebagai mahar adalah hafalan surat Al Mulk. Bolehkah itu?
Dalam kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah 17: 324 disebutkan perselisihan para ulama mengenai masalah ini.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam pendapat mereka yang masyhur, juga salah satu pendapat dari Imam Ahmad, menyatakan tidak bolehnya menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar untuk perempuan. Karena kemaluan wanita barulah halal jika mahar berupa harta. Allah Ta’ala berfirman,
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS. An Nisa’: 24). Begitu pula hafalan Qur’an hanya jadi bentuk taqarrub (ibadah) bagi yang menghafalkannya.

Ulama Syafi’iyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah yang menyelisihi pendapat yang masyhur, mereka menyatakan bolehnya menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar bagi perempuan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang wanita dengan pria dengan mahar hafalan Al Qur’an yang ia miliki.
Hadis yang dimaksud adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan untuk dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak tertarik dengannya. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”
“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”
Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.
Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?
“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Iya,” jawabnya.
“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 1425)

Lebih Baik Pengajaran Al Qur’an, Bukan Sekedar Setor Hafalan

Para ulama yang membolehkan mahar berupa hafalan Al Qur’an sepakat bahwa harus ditentukan surat apa dan ayat berapa yang akan dihafalkan sebagai mahar. Karena surat dan ayat itu berbeda-beda. Sedangkan untuk masalah qira’ah apa yang dipakai, para ulama berselisih pendapat.
Lebih baik mahar dengan hafalan Al Qur’an bukan sekedar dibacakan atau disetorkan. Namun bagusnya adalah diajarkan. Sebagaimana Imam Nawawi menyimpulkan hadits Sahl bin Sa’ad di atas dengan menyatakan bahwa mahar itu baiknya berupa pengajaran Al Qur’an. Beliau berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِجَوَازِ كَوْن الصَّدَاق تَعْلِيم الْقُرْآن
“Di dalam hadits terdapat dalil akan bolehnya mahar berupa pengajaran Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 9: 192)
Sedangkan Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia lebih cendurung memahami hadits Sahl bin Sa’ad untuk mahar berupa pengajaran Al Qur’an dibolehkan jika tidak didapati mahar berupa harta. Pengajaran Al Qur’an itu termasuk jasa yang diberikan sebagai mahar. Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia disebutkan,
يَصِحُّ أَنْ يَجْعَلَ تَعْلِيْمَ المرْأَةِ شَيْئًا مِنَ القُرَآنِ مَهْرًا لَهَا عِنْدَ العَقْدِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَجِدْ مَالاً
“Boleh menjadikan pengajaran Al Qur’an pada wanita sebagai mahar ketika akad saat tidak didapati harta sebagai mahar.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 6029, 19: 35).
Hal yang sama diutarakan oleh Imam Bukhari, beliau membawakan judul Bab untuk hadits Sahl bin Sa’ad di atas,
تَزْوِيجِ الْمُعْسِرِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ )
“Menikahkan orang yang sulit untuk menikah, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32).”


Yang lebih baik, mahar berupa pengajaran Al Qur’an pada istri atau pengajaran hafalan Al Qur’an padanya, bukan sekedar menyetorkan hafalan. Namun itu dilakukan ketika jelas tidak punya harta sebagai mahar. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Fatwa Al Islam Sual wal Jawab: http://islamqa.info/ar/205727

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, GK, 19 Jumadal Ula 1436 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


https://rumaysho.com/10494-mahar-nikah-berupa-hafalan-al-quran.html



Bahaya melupakan Mushaf sang Kholiq

21-06-16

Lupa Kalam-NYA





 
Mushaf????
apasih itu?
Yups! 
Mushaf yang saya maksud adalah Firman Allah yaitu AL-QUR'AN.
Disini saya akan memberikan posthingan tentang bagaimana bahaya jika kita melupakan lantunan ayat Al-Qur'an yang pernah kita Hafalkan.

Ada seseorang yang bertanya kepada Al Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Lombok 
"Bagaimana jika saya menghafal ayat-ayat Al Qur’an –dalam pelajaran tafsir ini- tapi setelah itu saya lupa, apakah saya termasuk orang-orang yang diadzab karena melupakan Al Qur’an, sedangkan untuk menjaga hafalan ini saya sangat berat bahkan seperti  tidak sanggup?"

Kemudian Ustadz tersebut menjawab pertanyaan itu dengan ramah dan argumen  yang diberikan sangat jelas.
Dibawah ini jawaban dari Al-Ustadz tersebut.

Ada satu faidah yang dibawakan oleh Al Imam An Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar, yang terkait dengan orang yang melupakan Al Qur’an ketika ia menghafalnya atau setelah ia menghafalnya. Beliau menulis satu bab “Perintah untuk menjaga Al Qur’an dan Peringatan dari Perkara-perkara yang akan melupakan dari perkara tersebut”.
Al Imam An Nawawi pertama kali membawakan hadits dari Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu, yang artinya :
“Perbaruilah hafalan kalian (mulazamah kalian) terhadap bacaan Al Qur’an agar kalian tidak melupakannya”.
Ini makna “Ta’ahadu” kemudian
“Perbaruilah kesemangatan kalian untuk mulazamah dengan Al Qur’an agar kalian jangan melupakannya”.
Maka Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bahwa Al Qur’an itu lebih sangat cepat lepasnya dibanding lepasnya onta dari ikatannya”.[1]
Kemudian Al Imam An Nawawi membawakan riwayat yang kedua dari Shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Perumpamaan Shahibul Qur’an (Orang yang menghafal Al Qur’an) bagaikan onta yang sedang diikat, jikalau dia menjaga ikatannya, niscaya dia akan bisa untuk menahannya, kalau ia lepaskan ikatan tersebut, niscaya onta itu akan cepat pergi”.
Ini gambaran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang menghafal Al Qur’an, yang kalau tidak dijaganya, maka akan cepat hilangnya.
Kemudian beliau mengatakan:
“Kami telah meriwayatkan dari Sunan Abi Dawud dan At Tirmidzi dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
“Diperlihatkan atasku pahala-pahala ummatku, sampai-sampai kotoran yang dia keluarkan dari masjid (berpahala). Dan diperlihatkan atasku dosa-dosa ummatku, maka aku tidak melihat dosa yang paling besar dari satu surat / ayat Al Qur’an, yang satu ayat itu diberikan kepada seseorang kemudian orang tersebut melupakan satu ayat itu”.
Namun hadits ini lemah (Dha’if), karena di dalam sanadnya terdapat Al Muqallif bin Abdillah, tidak dikenal dia mendengar dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan At Tirmidzi, demikian juga Abdullah bin Abdurrahman mengatakan yang sama, serta ‘Ali Al Madini demikian juga.
Sehingga haditsnya didhaifkan  oleh Asy Syaikh Salim Al Hilaly dalam kitabnya Shahih Al Adzkar dan Dha’ifnya.
Dibawakan juga oleh An Nawawi juga hadits yang lain dalam Sunan Abi Dawud dan Musnad Al Imam Ad Darimi dari Sa’id bin Ubadah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menghafal Al Qur’an kemudian melupakannya, dia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam keadaan ajzam (terputus segala amalnya)”.
Hadits ini lebih dhaif dari hadits yang pertama, karena terdapat tiga illah (cacat) dari hadits ini yang menyebabkan dhaifnya sanad hadits ini.
  1. Karena Yazid bin Abi Ziyad : Dhaif.
  2. Isa bin Fa’id : Majhul.
  3. Terputusnya sanad antara Isa bin Fa’id dan Sa’d bin Ubadah, karena Isa tidak pernah mendengar dari Sa’d dan tidak pernah pula berjumpa dengannya.
Sehingga setelah kita melihat kedudukan hadits-hadits ini, maka cukup menjadi pembimbing bagi kita adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahihain tadi.
Bagi kalian juga, perbarui mulazamah bacaan kalian, supaya kalian tidak melupakannya.
Lalu, bagaimana jika kita sudah berusaha tetapi selalu lupa ayatnya, beberapa ayat bahkan satu surat?
  1. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitabNya Al Qur’an, yang artinya :
    – “Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya”.
    – “Maka bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri kalian”.
  2. Maka kita arahkan permasalahannya pada diri-diri kita, bisa jadi kita melupakan atau berat untuk menjaganya karena tidak melaksanakan bimbingan ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, atau kemungkinan kedua, karena adanya banyak beban pada diri masing-masing sehingga untuk menjaganya kesulitan atau untuk menghafal Al Qur’an itu.
  3. Ini merupakan asasi, karena kemaksiatan yang mungkin ada pada diri kita sendiri.
    Sebagaimana pengakuan Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah kepada Waqi’ rahimahullah tentang jeleknya hafalan beliau, kemudian Waqi’ membimbingku untuk meninggalkan perbuatan maksiat.
Setelah kita arahkan pada diri-diri kita, semoga usaha kita untuk menghafal Al Qur’an diberikan nilai sebagai amal shalih oleh Allah Ta’ala. Kita sudah bersungguh-sungguh untuk menjaganya ternyata Allah Ta’ala mencabutnya atau dilupakan oleh syaithan, maka semoga usaha kita itu diberikan nilai oleh Allah Ta’ala, lupanya kita kepada ayat atau surah.
“Ya Allah, jangan kami disiksa karena kami lupa atau karena sesuatu yang kami tersalah padanya”. (QS. Al Baqarah)
Dan kita bergembira dengan firman Allah yang artinya:
“Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya”.
Namun, yang jelas, kita dilupakan dari menghafal Al Qur’an serahkan semuanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Artikel ini berasal dari sebuah tanya jawab seusai ta’lim rutin tafsir Al Qur’an ba’da maghrib, bertempat di masjid Khalid ibnul Walid, Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Muntilan.


[1] Bagi orang yang sudah melihat onta ketika lepas dari ikatannya, terkadang kasihan melihatnya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang paling keras (paling kasar) adalah orang yang menggembalakan onta”.
Dan Al Qur’an itu demikian cepat lepasnya dari seseorang, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kalian perbaharui, kalian mulazamah dengan membacanya agar kalian jangan melupakan Al Qur’an.